Salah satu dari 17 pria tersebut adalah Willy Salvador, seorang nelayan berusia 59 tahun yang mengajukan diri untuk menunjukkan keimanannya dengan menjalankan ritual tersebut. Pemuda-pemuda berkostum prajurit Romawi menyeret tubuh Willy dan dua orang lainnya melintasi San Juan ke arah alun-alun dimana dia menjalani penyaliban. “Saya tahu Anda tidak akan percaya pada saya, tapi Tuhan membantu saya pulih dari penyakit mental, ini adalah cara saya untuk berterima kasih pada-Nya karena telah menyembuhkan saya,” kata Willy, pria yang menjalani ritual ini setiap tahun sejak 2006, Sabtu (26/3/2016).
Paku yang digunakan dalam penyaliban tersebut menembus kedua tangan dan kaki, namun tidak sampai menahan beban para pelaku ritual. Mereka disalib selama beberapa menit sebelum diturunkan dan diberi pengobatan. Ritual serupa juga dilakukan di desa-desa lainnya di Filipina yang 80 juta penduduknya menganut agama Katolik. Penyaliban dilakukan pada Jumat Agung yang dipercaya sebagai saat dimana Yesus Kristus dipaku di atas salib untuk menebus dosa manusia.
Penyaliban menjadi atraksi yang menarik bagi turis-turis yang datang ke Filipina, diperkirakan ribuan pengunjung datang ke San Pedro, dimana ritual ini telah berlangsung selama 30 tahun. Kepala Desa San Juan, Claro Tolentino mengatakan bahwa penyaliban dan penderaan diri telah menjadi tradisi dan bagian dari budaya di Filipina, dan hal itu harus dihormati.
Meski merupakan sebuah bukti kepercayaan kepada Tuhan, ritual penyaliban ternyata mendapat kritik dari gereja yang menganggap penyaliban terlalu ekstrem untuk dilakukan. “Gereja tidak menganjurkan aksi ekstrem semacam ini karena Yesus Kristus telah menjalaninya untuk kita semua. Tidak perlu untuk mengulanginya,” kata Pendeta Douglas Badong dari gereja Katolik Quiapo di Manila.